Kamis, 04 Februari 2016


Sumber : http://www.mongabay.co.id/2016/02/02/sekian-lama-jadi-pajangan-akhirnya-pongky-bebas/

Pongky, menatap ke depan, menatap masa depan, kesempatan kedua untuk bisa lepas ke alam liar, setelah bebas dari Kebun Binatang Medan. Foto: Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre

Masih ingat cerita Pongky? Orangutan Sumatera jantan berusia 14 tahun yang terbebas dari kandang sempit peliharaan pejabat polisi di Aceh, tetapi pindah menjadi ‘satwa pajangan’ Kebun Binatang Medan. Sejak 2013, berbagai organisasi pecinta satwa  dan organisasi konservasi protes agar Pongky masuk rehabilitasi hingga bisa lepas liar di alam. Bersyukur, setelah lebih dua tahun di Kebun Binatang Medan, Selasa (2//2/16), Pongky bebas, kini masuk karantina sebelum lepas liar.

Awalnya, Pongky, hidup di kandang kawat kecil oknum polisi di Aceh. Ia ditemukan tim Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) Juli 2013. Tim YOSL-OIC melaporkan ke BKSDA Aceh. Pongky disita lalu dibawa ke Kebun Binatang Medan, Sumut.

Dalam rilis kepada media, Helen Buckland, Direktur Sumatra Orangutan Society (SOS), mengatakan, ketika Pongky disita lalu ke Kebun Binatang Medan, ia hanya bertukar dari satu kehidupan di balik jeruji besi ke jeruji besi lain. “Pongky seharusnya tak pernah dikirim ke kebun binatang. Ia harusnya diberi kesempatan kedua hidup di alam liar,” katanya.

Pongky, setelah dua tahun lebih di Kebun Bintang Medan, akhirnya diserahkan ke pusat karantina orangutan untuk persiapan lepas liar. Foto: Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre

Berbagai organisasi konservasi dan pecinta satwa melobi kebun binatang agar menyerahkan Pongky ke pusat karantina khusus orangutan, Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) agar bisa kembali ke alam liar. “Kampanye mendapatkan Pongky dari kebun binatang menarik perhatian dan dukungan seluruh dunia.” Akhirnya, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meminta kebun binatang memindahkan Pongky ke karantina SOCP.

Hal ini, katanya, sesuai kebijakan Pemerintah Indonesia, dalam Strategi Nasional dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007-2017, bahwa semua orangutan sitaan dari perdagangan hewan dan peliharaan harus masuk program rehabilitasi untuk kembali ke hutan. Orangutan Sumatera sangat terancam punah karena di alam liar hanya sekitar 6.600 individu.

Panut Hadisiswoyo, Direktur YOSL-OIC, mengatakan, lobi ke pemerintah dan kebun binatang untuk melepaskan Pongky terus dilakukan. “Upaya ini terbayar. Hari ini, Pongky direlokasi dari Kebun Binatang Medan ke Pusat Karantina SOCP,” ujar dia.

Menurut Panut, masih ada perjalanan panjang bagi Pongky sebelum bisa lepas liar. Namun, mereka optimistis masih memiliki peluang bagus Pongky jadi orangutan liar lagi. “Kami berterima kasih kepada pemerintah dalam memastikan kesejahteraan Pongky dan memberikan kesempatan ini.”

Pongky dalam pemeriksaan kesehatan tim dokter SOCP. Foto: Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre

Yenny Saraswati, dokter hewan senior di SOCP mengatakan, setelah ini Pongky mesti diberi waktu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. “Kami akan memeriksa kesehatan lengkap, memastikan apakah Pongky bebas penyakit seperti TBC dan hepatitis. Setelah itu, akan dapat memutuskan, apakah Pongky dapat kembali ke kehidupan liar, atau mencari solusi jangka alternatif perawatannya.”

Genman S Hasibuan, Kepala BKSDA Aceh berharap, kerja sama Kebun Binatang Medan dengan menyerahkan Pongky, menjadi pesan penting semua pihak harus mematuhi UU berlaku.

http://mongabaydotorg.wpengine.com/wp-content/uploads/2013/10/




Atasi Konflik Gajah, CRU di Aceh Terus Ditambah

http://mongabaydotorg.wpengine.com/wp-content/uploads/2014/08/

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Genman Hasibuan, menuturkan, salah satu solusi mitigasi konflik gajah dengan manusia adalah dengan mendirikan Conservation Response Unit (CRU) di wilayah rawan konflik.

“Dari beberapa daerah yang konfliknya tinggi, CRU baru didirikan di lima daerah, yaitu, di Kecamatan Manee (Kabupaten Pidie), Kecamatan Sampoiniet (Trumon), Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Utara, dan terakhir di Serbajadi (Kabupaten Aceh Timur). Dalam waktu dekat, CRU juga akan didirikan di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Barat.”

Genman mengatakan, penanganan konflik gajah dengan mendirikan CRU, meskipun bukan satu-satunya solusi, tapi sangat bermanfaat, baik untuk masyarakat maupun gajah. Selain dapat menghindari konflik, keberadaan CRU juga membantu menyelamatkan gajah dari pemburuan dan pembunuhan. “Munculnya konflik, karena gajah dan manusia sama-sama membutuhkan lahan landai dan datar.”

Diperkirakan, jumlah gajah sumatera di Aceh saat ini antara 450-500 individu yang tersebar di 20 kabupaten/kota di Aceh. “Hanya di Kota Banda Aceh, Sabang, dan Kabupaten Simeulue yang tidak ada gajah,” ungkap Genman, belum lama ini.

Bupati Aceh Timur, Hasballah HM Thaib mengatakan, untuk menjaga agar gajah sumatera tidak punah, seluruh lapisan masyarakat termasuk perusahaan perkebunan harus bersama melindunginya. “Jangan bunuh gajah, terlebih untuk diambil gadingnya. Kita harus menjaga gajah agar keseimbangan alam tetap terjaga.”

Hasballah menyebutkan, Pemerintah Aceh Timur bekerja sama dengan berbagai pihak telah mendirikan CRU di Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi. Selain itu, telah didatangkan juga empat gajah jinak yang akan ditempatkan di CRU tersebut. “Tahun ini, kita akan melakukan penggiringan gajah liar dari lokasi konflik ke hutan yang telah disiapkan, sekitar 5.500 hektare.”

Setelah gajah liar tersebut digiring ke hutan, akan dibangun parit buatan yang menyambung dengan parit alam, sehingga gajah tetap berada di habitatnya. “Namun, program ini tidak bisa terwujud jika tidak melibatkan semua pihak. Untuk itu, kami meminta pemilik hak guna usaha (HGU) di Aceh Timur, Pemrov Aceh, dan pemerintah pusat ikut berpartisipasi,” sambung Hasballah.

Perwakilan Forum Konservasi Leuser (FKL), Rudi Putra mengatakan, rencana pembangunan CRU di Serbajadi sudah ada sejak 2007, namun baru terlaksana di 2015. “Kami dari FKL dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh terus memfasilitasi agar CRU segera didirikan karena konflik antara gajah dengan manusia di Aceh Timur cukup tinggi.”

Rudi mengatakan, lokasi yang dicadangkan untuk gajah liar sangat penting dijaga. Walau wilayahnya kecil, tetapi masih tersambung dengan 300,000 hektare kawasan hutan lainnya seperti cagar alam, hutan produksi, hutan lindung dan taman nasional.

“Bahkan bila ada koridor, kawasan ini akan tersambung dengan hutan di bagian utara hingga ke Aceh Utara dan Bener Meriah dengan luas total mencapai 600,000 hektare. Wilayah  ini merupakan bagian terakhir hutan dataran rendah yang tersisa di Pulau Sumatera dengan keragaman hayati yang tinggi.”

Rudi juga menjelaskan, setidaknya 8.000 hektare lahan di Aceh Timur mengalami kerusakan akibat konfik ini. Masyarakat frustasi sehingga ditemukan perilaku meracun, menjerat, dan memasang listrik tegangan tinggi untuk menghalangi gajah masuk kebun. “Di wilayah rawan konflik, masyarakat harus merubah pola tanaman dari kelapa sawit ke tanaman lain yang tidak disukai gajah tetapi memiliki nilai komersil tinggi seperti kopi dan lainnya,” ujarnya.